kangTech - Persaingan CDMA dengan GSM -
MASYARAKAT mulai merasakan manfaat kompetisi di sektor telekomunikasi dan
persaingan teknologi serta persaingan bisnis antar-operator memberi alternatif
pilihan yang menguntungkan. Dengan masuknya Telkomflexi yang berbasis teknologi
CDMA (code division multiple access), maka sekarang masyarakat dapat menikmati
layanan telepon seluler dengan tarif telepon tetap PSTN. Jadi telepon seluler
bukan barang mewah lagi.
DALAM menangani persaingan ini, peranan dan konsistensi regulator benar
diuji. Yaitu bagaimana kebijakan dan kebijaksanaan regulasi sektor
telekomunikasi untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan para
pemain bisnis.
Permasalahan utama pemerintah selama ini adalah bagaimana mempercepat
penambahan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Kepadatan telepon
(teledensitas) sampai saat ini baru 3,7 persen, atau rata-rata tiga telepon di
antara seratus penduduk. Tentunya angka ini akan lebih kecil lagi untuk di
daerah-daerah pedesaan atau daerah terpencil yang bisa hanya mencapai 0,01
persen saja. Diperlukan terobosan-terobosan teknologi dan regulasi untuk
mendongkrak angka teledensitas Indonesia yang sudah jauh tertinggal
dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.
Di Indonesia, liberalisasi bisnis seluler dimulai sejak tahun 1995, saat
pemerintah mulai membuka kesempatan kepada swasta untuk berbisnis telepon
seluler dengan cara kompetisi penuh. Bisa diperhatikan, bagaimana ketika
teknologi GSM (global system for mobile) datang dan menggantikan teknologi
seluler generasi pertama yang sudah masuk sebelumnya ke Indonesia seperti NMT
(nordic mobile telephone) dan AMPS (advance mobile phone system)
Teknologi GSM lebih unggul, kapasitas jaringan lebih tinggi, karena
efisiensi di spektrum frekuensi. Sekarang, dalam kurun waktu hampir satu
dekade, teknologi GSM telah menguasai pasar dengan jumlah pelanggan lebih dari
jumlah pelanggan telepon tetap. Tren ini akan berjalan terus karena di samping
fitur-fiturnya lebih menarik, telepon seluler masih merupakan prestise,
khususnya bagi masyarakat Indonesia.
Namun, sampai saat ini telepon seluler masih merupakan barang mewah, tidak
semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya. Tarifnya masih sangat tinggi
dibandingkan dengan telepon tetap PSTN (public switched telephone network),
baik untuk komunikasi lokal maupun SLJJ (sambungan langsung jarak jauh), ada
yang mencapai Rp 4.500 per menit flat rate untuk komunikasi SLJJ.
Namun, berapa pun tarif yang ditawarkan operator seluler GSM, karena tidak
ada pilihan lain, apa boleh buat, diambil juga. Terutama karena telepon PSTN
tidak bisa diharapkan. Jadi, masuknya CDMA menjanjikan solusi teknologi yang
ekonomis untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam mempercepat penambahan PSTN.
Apalagi, CDMA datang dengan teknologi seluler 3G, yang menawarkan fitur-fitur
yang lebih canggih dibandingkan dengan teknologi GSM. Keunggulan ini
sekaligus dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup masyarakat modern.
Mengapa CDMA bisa murah?
Suatu kali seorang mahasiswa di
lift tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu dan saya hanya berkometar,
jangan-jangan GSM yang kemahalan. CDMA datang dengan harga 200 dollar AS per
SST (satuan sambungan telepon), jauh lebih murah dibandingkan dengan teknologi
akses lainnya selama ini di Indonesia sehingga PT Telkom berani memberikan
tarif murah. Padahal, CDMA lebih canggih dan lebih unggul dibandingkan dengan
GSM.
Kalau begitu, perlu
dipertanyakan kembali bagaimana sebenarnya iklim bisnis seluler GSM selama ini
termasuk pemain-pemain yang berperan dibalik semua itu. Mulai dari vendor,
operator, dan regulator, siapakah yang paling diuntungkan, meski yang jelas
bukan masyarakat sebagai konsumen.
Apalagi jika diperhatikan skema
kerja sama antara vendor dengan para operator dalam pola pengadaan atau
pembelian teknologi. Pedihnya lagi, adakah transfer teknologi yang berarti buat
negara kita? Sudah hampir satu dekade, vendor- vendor teknologi jaringan GSM
masuk dan berbisnis di Indonesia, kenyataannya kita hanya dijadikan pembeli dan
pemakai teknologi semata.
Sekarang dengan masuknya
teknologi CDMA dari kubu lain dengan pelaku bisnis baru apakah itu dari
Amerika, Jepang, Korea, atau Cina, diharapkan iklim bisnisnya akan lebih
terbuka. Perlu dicermati apakah ada itikad baik pemain baru itu untuk
meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia kita.
Tentu pemerintah dan para
operator harus mempunyai kekuatan negosiasi yang kuat, jangan sampai mereka
datang dengan sederet permintaan dan syarat untuk memudahkan mereka berbisnis,
sementara kita tidak tahu mau minta apa kepada negara mereka. Meskipun kita tak
mempunyai keunggulan kompetitif dalam teknologi ini, tetapi potensi pasar yang
menjanjikan, bisa dijadikan kekuatan tawar, misalnya untuk memperjuangkan
transfer teknologi yang nyata. Hal lain yang perlu dicermati adalah jangan sampai
terjadi ketergantungan pada satu atau dua vendor seperti pengalaman kita
terdahulu dengan Siemens.
Dari aspek teknologi, baik GSM
atau CDMA merupakan standar teknologi seluler digital, hanya bedanya GSM
dikembangkan oleh negara-negara Eropa, sedangkan CDMA dari kubu Amerika dan
Jepang. Tetapi perlu diperhatikan bahwa teknologi GSM dan CDMA berasal dari
jalur yang berbeda sehingga perkembangan ke generasi 2,5G dan 3G berikutnya
akan berbeda terus seperti bisa dilihat pada skema.
Oleh karena itu, kita harus hati-hati memilih teknologi. Ketika kita
memilih CDMA, maka selanjutnya harus mengikuti jalur up-grade CDMA terus. Perlu
diingat, up-grade jaringan dalam satu jalur teknologi akan lebih gampang dan
lebih murah dibandingkan migrasi ke teknologi lain.
Kinerja jaringan merupakan kriteria berikutnya yang harus diperhatikan
dalam pemilihan teknologi. Kinerja jaringan seluler sangat tergantung efisiensi
pemakaian spektrum frekuensi dan sensivitas terhadap interferensi karena
spektrum frekuensi merupakan sumber daya yang sangat terbatas.
Untuk meningkatkan efisiensi spektrum frekuensi, maka dilakukan teknik
penggunaan kembali frekuensi re-used, mempergunakan kembali frekuensi yang sama
pada sel lainnya pada jarak tertentu supaya tidak terjadi interferensi. Teknologi
CDMA memiliki kapasitas jaringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
teknologi GSM dan frekuensi yang sama dapat dipergunakan pada setiap sel yang
berdekatan atau bersebelahan sekalipun.
Teknologi CDMA didesain tidak peka terhadap interferensi. Di samping itu,
sejumlah pelanggan dalam satu sel dapat mengakses pita spektrum frekuensi
secara bersamaan karena mempergunakan teknik pengkodean yang tidak bisa
dilakukan pada teknologi GSM.
Mobilitas terbatas
Mobilitas merupakan keunggulan utama teknologi seluler dibandingkan telepon
tetap. Setiap pelanggan dapat mengakses jaringan untuk melakukan komunikasi
dari mana saja dan di sini letak perbedaan dengan telepon tetap.
Konsep desain teknologi seluler menjamin mobilitas setiap pelanggan untuk
melakukan komunikasi kapan pun dan di mana pun dia berada. Jadi dari aspek
teknologi, tidak ada batasan mobiltas pelanggan bahkan jelajah (roaming)
internasional dapat dilakukan.
Kalau dilakukan pembatasan, apalagi jika dibatasi penggunaan teknologi itu
hanya dalam satu sel, pelanggan hanya bisa melakukan komunikasi atau
mempergunakan teleponnya dalam daerah cakupan BTS (base transceiver station) di
mana dia berlangganan.
Untuk Jakarta tentu sangat tidak efektif dan tidak efisien karena misalnya
pelanggan yang punya rumah di Jakarta Timur, bekerja di Jakarta Pusat, atau
belanja ke Glodok, teleponnya sudah tidak bisa dipergunakan. Di samping itu,
pembatasan ini bisa dimanfaatkan operator untuk menambah biaya roaming antarsel
yang tentu akan merugikan, mempersulit, atau membodohi masyarakat. Jangan
sampai karena persaingan bisnis para operator lalu masyarakat dikorbankan. Jika
pembatasan tetap ingin dilakukan, tentu perlu dipikirkan batasan yang wajar. Misalnya,
batasan cakupan meliputi Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi).
Kejadian ini tidak jauh berbeda
dengan apa yang dihadapi India sekitar tahun 2000 ketika para operator GSM
khawatir bisnis mereka terancam saat CDMA masuk. Pemerintah memberikan izin
teknologi seluler CDMA-WLL dioperasikan untuk mempercepat infrastruktur PSTN
mereka, untuk mencapai target 7 persen teledensitas pada tahun 2005 mendatang.
Sampai sekarang, Pemerintah India tetap konsisten mempertahankan teknologi
CDMA, dengan mobilitas tetap dibatasi, tetapi daerah cakupan cukup luas yaitu
kira-kira satu provinsi.
Menghadapi persaingan bisnis
yang makin sengit dan siklus serta persaingan teknologi yang makin cepat, dalam
menentukan kebijakan dan kebijaksanaannya, regulator harus melihat dari segala
sudut pandang dengan suatu kajian yang komprehensif, tidak parsial. Dan yang
lebih penting lagi, harus mampu mengantisipasi segala perubahan yang mungkin
terjadi supaya tidak ketinggalan terus.
Dengan adanya konvergensi
teknologi telekomunikasi dengan teknologi informasi, kebijakan lisensi
seharusnya tidak lagi tergantung teknologi maupun jasa. Setiap operator bebas
memilih teknologi yang paling ekonomis dan cocok untuk meningkatkan daya saing
mereka, agar bisa menawarkan jasa kepada masyarakat dengan tarif yang rendah.
Regulator benar-benar harus independen, tidak memihak kepada teknologi atau
vendor mana pun.
Lebih jauh lagi, liberalisasi
sektor ini menuntut regulator untuk menjaga kesinambungan layanan kepada
masyarakat, jangan sampai terjadi cherry picking yang mungkin dilakukan oleh
pemain-pemain baru. Saat mereka terjepit, mereka begitu saja berangkat tanpa
memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Biasanya kasus ini terjadi pada
negara-negara berkembang di mana hukum dan regulasi masih sangat lemah, seperti
pernah terjadi di India sehingga langkah-langkah strategis perlu dipersiapkan
baik oleh regulator maupun operator. Misalnya untuk mengantisipasi persaingan,
sebaiknya operator GSM mulai memikirkan alternatif solusi teknologi apakah
up-grade atau migrasi.
Oleh karena itu, peran
pemerintah dan regulator tetap sangat dibutuhkan untuk menjaga kepentingan
masyarakat suatu negara terutama dalam masa transisi dari monopoli ke
kompetisi. Bagi negara kita, yang sampai saat ini hanya jadi pembeli dan
pemakai teknologi tersebut, tentu harus pintar- pintar memilih teknologi yang
paling ekonomis dan cocok dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi masyarakat.
Jangan sampai terpaku pada suatu teknologi atau pada satu-dua vendor saja.
Kita harus bisa mobile secara bebas, tidak limited mobility.
AsmiatiRasyid Pusat Studi Regulasi
Telekomunikasi Indonesia dan Pengajar Sekolah Tinggi Management Bandung
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar